Ferry Irwandi vs TNI Siber: Benarkah Kritik Bisa Dipidana di Era Digital?
Pendahuluan
![]() |
| potrait ferry irwandi dan Komandan Satuan Siber TNI, Brigjen Juinta Omboh Sembiring |
Nama Ferry Irwandi mendadak menjadi sorotan publik. Mantan pegawai Kementerian Keuangan yang kini dikenal sebagai konten kreator dan pendiri Malaka Project ini, terseret kontroversi setelah TNI Siber menilai ada dugaan tindak pidana dalam kontennya.
Kasus ini langsung viral karena bukan hanya menyangkut satu individu, melainkan juga menyentuh isu besar: kebebasan berekspresi di era digital.
Latar Belakang Kasus Ferry Irwandi
Pada awal September 2025, Komandan Satuan Siber TNI, Brigjen Juinta Omboh Sembiring, mengumumkan adanya "fakta dugaan tindak pidana" dari aktivitas Ferry di media sosial. Dugaan ini kemudian dikonsultasikan ke Polda Metro Jaya.
Isu pun merebak: apakah kritik publik terhadap sebuah lembaga negara bisa dianggap tindak pidana?
Perspektif Hukum: Bisakah Institusi Melaporkan Pencemaran Nama Baik?
Di sisi hukum, ada fakta menarik. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 105/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa institusi tidak bisa melaporkan pencemaran nama baik, melainkan hanya individu.
Artinya, laporan TNI Siber secara hukum dipertanyakan. Hal ini menimbulkan perdebatan luas soal batas kritik, pencemaran nama baik, dan kriminalisasi di era UU ITE.
Reaksi Publik: Netizen & Masyarakat Sipil
Kasus ini cepat menyebar di media sosial. Banyak netizen membela Ferry Irwandi, bahkan menuduh tindakan TNI sebagai bentuk pembungkaman kritik.
Koalisi masyarakat sipil seperti Imparsial, ICJR, hingga Centra Initiative juga menegaskan bahwa TNI seharusnya fokus pada pertahanan negara, bukan membidik warga sipil.
Isu ini pun menjadi trending, karena publik khawatir: apakah setelah Ferry, siapa pun bisa dipidana hanya karena kritik?
Sikap Ferry Irwandi
Alih-alih gentar, Ferry dengan tegas menyatakan siap menghadapi proses hukum. Ia menolak bersandiwara, dan menyebut:
“Ide tidak bisa dipenjara.”
Sikap ini membuatnya dianggap berani, bahkan sebagian publik menempatkannya sebagai simbol perlawanan sipil terhadap upaya pembungkaman kritik.
Implikasi Lebih Luas: Demokrasi di Era Digital
Kasus Ferry Irwandi vs TNI Siber bukan sekadar persoalan pribadi. Ia membuka ruang diskusi yang lebih besar:
- Apakah demokrasi di Indonesia masih memberi ruang bagi kritik terbuka?
- Apakah pasal pencemaran nama baik di UU ITE sudah terlalu sering dipakai untuk membungkam suara publik?
- Bagaimana posisi TNI dalam konteks negara demokrasi modern?
Pertanyaan-pertanyaan ini kini menjadi bahan refleksi, tidak hanya bagi pemerintah, tetapi juga bagi masyarakat.
Kesimpulan
Kasus Ferry Irwandi vs TNI Siber adalah gambaran nyata betapa rapuhnya batas antara kritik, kebebasan berekspresi, dan hukum di era digital.
Apakah kritik memang harus dipidana, atau justru dijawab dengan dialog terbuka?
Pertanyaan ini masih menggantung—dan publik menunggu jawaban yang jelas demi masa depan demokrasi Indonesia.

Komentar
Posting Komentar